Kisah Abu Nawas | Botol Ajaib
8. Botol
Ajaib
Tidak ada
henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu
Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh.
Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.
Setelah tiba di
istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
"Akhir-akhir
ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan
angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.
"Ampun
Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.
"Aku hanya
menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda.
Abu Nawas hanya
diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan
bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara
membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.
Karena angin tidak bisa dilihat.
Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun
tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak.
Baginda hanya memberi Abu Nawas
waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah
dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir
sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la
yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang
sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu
kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin.
Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah
dari Baginda Raja atas kecerdikannya.
Tetapi sudah dua hari ini Abu
Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi
memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan
Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa
tidur walau hanya sekejap.
Mungkin sudah takdir; kayaknya
kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan
perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada
takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan
lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak
terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera
berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala
sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung
dipersilahkan masuk oleh para pengawal
karena Baginda sedang menunggu
kehadirannya.
Dengan tidak sabar Baginda
langsung bertanya kepada Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil
memenjarakan angin, hai Abu Nawas?"
"Sudah Paduka yang
mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah
disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.
Baginda menimang-nimang botol
itu.
"Mana angin itu, hai Abu
Nawas?" tanya Baginda.
"Di dalam, Tuanku yang
mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim.
"Aku tak melihat
apa-apa." kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin
tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus
dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol
dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat
hidung.
"Bau apa ini, hai Abu
Nawas?!" tanya Baginda marah. "Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan
hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba
buang itu keluar maka hamba
memenjarakannya dengan cara
menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah
karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu
Nawas selamat.
Komentar
Posting Komentar