Kisah Abu Nawas | Lolos Dari Maut
27.
Lolos Dari Maut
Karena dianggap hampir membunuh
Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang
absolut Baginda memerintahkan para prajurit-prajuritnya langsung menangkap dan
menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Waktu itu Abu Nawas sedang
bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit
kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung
menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak
berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa hari lagi
kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan
pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya tidak akan bersedia
membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka
masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari
jalan keluar.
Seperti biasa Abu Nawas tidak
bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia
meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.
Hari ketiga Abu Nawas memanggil
seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas
membuka pembicaraan.
"Apa itu?" kata
pengawal itu tanpa gairah.
"Aku ingin pinjam pensil dan
selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan
sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku
saja."
Pengawal itu berpikir sejenak
lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu menghadap
Baginda Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal,
Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati,
Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas :
Abu Nawas menulis surat yang
berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita
karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong
jangan bercerita kepada siapa pun."
Tentu saja surat itu dibaca oleh
Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas.
Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan
beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan
peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu
Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong
pada mereka? Pertanyaan itu tidak terjawab
karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat
Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas
menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: "Mungkin suratmu
dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke
sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa
yang harus kukerjakan sekarang?"
Rupanya istrinya Abu Nawas belum
mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas:
"Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai
istriku."
Kali ini Baginda tidak bersedia
membaca surat Abu Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu
Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan
pencangkulan.
Mendekam Di Penjara
Abu Nawas masih mengeram di
penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan
memakai tangan orang lain.
Baginda berpikir. Sejenak
kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu
Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih
sanggup menyusahkan orang. Keputusan yang
dibuat Baginda Raja untuk
melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas
bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan
akan semakin gawat.
Kini hidung Abu Nawas sudah bisa
menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan
suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang.
Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa
dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan
kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa
gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk
memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka
tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan
hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang
merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan
diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai
ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktek ramal-meramal
nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang
terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam
menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak
menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir.
Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa
pikir panjang Abu Nawas ditangkap.
Abu Nawas sejak semula yakin
Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas
tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng.
Setelah beberapa hari meringkuk
di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian. Tukang penggal
kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas
menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap
ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa
Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya.
Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga
Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu
Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia,
tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa
gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia,
karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat
menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun."
kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda gemetar mendengar ucapan
Abu Nawas dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke
penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa.
Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang
enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasan tinggal di penjara. Abu Nawas
berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia
terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda
Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan
penjaga penjara.
Obsesi Baginda Raja
Cita-cita atau obsesi menghukum
Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan
akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang penasihat kerajaan
kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang
ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih
ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus
dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang
cemerlang itu dengan hati bulat.
Setelah ulama yang berilmu tinggi
berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat
Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda
Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi
murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir
kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada
seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi
tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai
mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu
Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke
lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa
menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan.
Benarlah peribahasa yang berbunyi
sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu
Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan
sang ilmuwan-ulama.
Benarkah Abu Nawas sudah keok?
Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati
atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah
ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas
tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan.
Baginda Raja Harun Al Rasyid
benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang
sekarang.
Keyakinan orang banyak bertambah
mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas aka
berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih
dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang
Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin dekat hukuman
mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu
Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin
tegar hatinya.
Baginda Raja tahu bahwa
ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu
dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau
tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga yakin,
selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan
tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan
yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.
Keyakinan seperti inilah yang
tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening,
sewaktu Bagin Raja memberi sambutan Singkat tentang akan dilaksanakan
hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa
memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan
permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinantinantikan Abu Nawas.
"Adakah permintaan yang
terakhir"
"Ada Paduka yang
mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata
Baginda.
"Sudilah kiranya hamba
diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba
anggap cocok wahai Baginda yang
mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda
menyetujui permintaan Abu Nawas..
"Paduka yang mulia, yang
hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi
jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja."
kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang
aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda
gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa
membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau
Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh.
Baginda makin terpingkal-pingkal.
Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan
nyaring.
"Hamba minta dihukum
pancung!"
Semua yang hadir kaget. Orang banyak
belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi
kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa
Baginda yang semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda
berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik
kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya.
Beliau sudah terlanjur
mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela
diri.
"Baginda yang mulia, hamba
tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba
benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan
hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah
memilih hukuman pancung?"
Olah kata Abu Nawas memaksa
Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini.
Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri
Baghdad ini.
"Abu Nawas aku mengampunimu,
tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di
langit?"
"Oh, gampang sekali
Tuanku."
"Iya, tapi berapa, seratus
juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak
pasir di pantai."
"Kau ini.... bagaimana bisa
orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa
menghitung bintang di langit?"
"Ha ha ha ha ha...! Kau
memang penggeli hati.
Kau adalah pelipur laraku. Abu
Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke
istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!"
"Siap Baginda !"
Komentar
Posting Komentar