Kisah Abu Nawas | Nazar Seorang Saudagar
37. Nazar Seorang Saudagar
“Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada
Allah”, kata seorang saudagar kepada istrinya,
“Jika kita diberi anak
laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal,
kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Rupanya sang saudagar
tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah
bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Akhirnya saudagar itu pun memperoleh anak,
Kemudian saudagar itu menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk
selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak
usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu
gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada
paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah, tidurpun
tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor
kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana
itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negerinya.
Ketika sampai di
rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan
para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan ada kemari?” tanya
penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi.” Jawab
si saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu diutarakan
kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi
itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan
menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun
dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. “Kami semua tidak berani menyuruh
menggantinya dengan yang lain-lain.”
Kenyataan itu semakin
bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah.
Pada
suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang Raja yang
adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun pasang
niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai diistana Sultan Harun Al-Rasyid kebetulan Baginda sedang duduk
di Balairung bersama beberapa orang menteri.
“Hai orang muda,
engkau berasal dari mana?” tanya Baginda setelah melihat kedatangan saudagar
muda ini.
“Ya Tuanku Syah
Alam,” jawab Saudagar muda. “Ampun beribu ampun, adapun hamba ini berasal dari
Negeri yang jauh.”
“Apa maksudmu datang
kemari, ingin berdagang,” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik
datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab
si saudagar.
“Katakan maksudmu,
supaya bisa kudengar,” titah Baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar
itu sampai kepada keputusan para penghulu negerinya dan niatnya menemui Baginda Sultan di Bagdad.
“Selanjutnya hamba mohon saran Baginda
agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu
dengan nada menghiba.
“Baikah,” kata
Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”
Saudagar itu pun mohon
pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya.
Alkisah, Sultan pun
bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia tidak dapat
memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila kambing bertanduk
sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain, haram hukumnya. Malam
harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada
mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar
dari Negeri itu. “Tolong berikan
pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji
kepadanya untuk datang menemuiku esok pagi.” Titah Baginda Sultan. “Atau
aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun
hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan
titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah
Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya,
baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang
lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan
pertemuan pun bubar.
Baginda lalu masuk
istana, untuk tidur, tetapi malam itu sulit sekali untuk terlelap tidur, karena otak masih
terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi.
Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas.
Tidak ada manusia yang
dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita.
Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu bangun, Baginda raja segera mutuslah prajurit untuk memanggil Abu Nawas. setbanya Abu Nawas tiba dihadapan baginda,
baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri nan jauh itu dan
semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya
sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat
memberi jalan keluar. Apalagi sebentar lagi saudagar itu akan menghadap ke Istana.
“Apa
pendapatmu tentang hal itu?” tanya Baginda Sultan dengan sorot mata ingin tahu
jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah
Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku
percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama
kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda
Sultan tentang nazar saudagar itu. Baginda memanggil
saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai
saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata
Abu Nawas.
Mendengar perkataan
Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si
saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu
menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta
mohon pamit pulang ke negerinya. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan
tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan
janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia
membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau
kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku
kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu
Nawas, ketika mengetahui seorang rajurit kerajaan datang mejemput Abu Nawas ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda
Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan kereta
Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta
kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu
terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, hamba
terlambat datang karena kaki hamba sakit,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata
Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan
seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu
Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda
mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik
kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke
tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang
hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba
mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu
mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan
anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan
ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar.
Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda
dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas
aku kira benar,” kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang
hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah
hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratus dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, untuk
pulang ke negerinya.
Komentar
Posting Komentar